Jumat, 15 April 2011

Briptu Norman Kamaru


Sejak video ”Polisi Gorontalo Menggila” muncul di Youtube, Briptu Norman Kamaru yang menyanyi dan bergoyang lagu India ”Chaiyya, Chaiyya” itu langsung ngetop.
Sebagian besar masyarakat senang dan mengapresiasi. Sang polisi mendadak menjadi pesohor kaliber nasional berkat eksploitasi media.
Jika Norman dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 4F tentang tindakan disiplin kepolisian, ia bisa tidak mendapat kesempatan tambahan pendidikan selama setahun, tertunda kenaikan pangkatnya, dimutasi, dan bahkan terancam disel khusus selama 21 hari. Akan tetapi, Norman akhirnya hanya mendapat teguran lisan dan malah dianggap berjasa karena mengharumkan citra polisi di masyarakat.
Memang serba dilematis. Kalau Norman dihukum, masyarakat akan berteriak mengolok. Kalangan seniman pun mungkin akan protes karena menganggap aspirasi seni tak dihargai.
Dengan cepat Wakil Ketua DPR Pramono Anung menyatakan bahwa berlebihanlah menghukum Norman. Menurut Pramono, presiden saja boleh dan sering menyanyi, mengapa Norman tidak boleh.
Maka, yang terjadi justru sebaliknya: Norman disanjung! Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo melihat Norman bertalenta dan memotivasinya agar mengembangkan potensi itu. Brimob Polda Gorontalo sendiri, tempat Norman bertugas, mengapresiasi kreativitas Norman.
Kultur pop
Dengan munculnya Norman, lengkap sudah mereka—dari pucuk pemimpin sampai jajaran bawah—yang senang menyanyi di negeri ini. Di satu sisi hal itu menunjukkan bagaimana manusia Indonesia memiliki jiwa seni. Namun, di sisi lain kenyataan ini benar-benar menunjukkan bagaimana kultur pop telah mencengkeram kita.
Secara antropologis ukuran kebudayaan itu relatif: soal baik atau buruk, luhur atau hina, tinggi atau rendah. Namun, jika ditakar dalam konteks filosofis-ideologis, kebudayaan populer yang tak mengusung nilai filosofis merupakan budaya ringan yang dikreasi sekadar untuk menghibur. Beraneka manifestasi dan produk kultur pop yang berkembang dahsyat karena didongkrak media demi pasar hanya menekankan kenikmatan sesaat dengan semboyan ”yang penting hepi ”.
Sebagian dari produk seni kita—lagu, musik, film, dan seterusnya—tidak mengusung nilai-nilai filosofis-ideologis yang mendalam. Jika itu digandrungi rakyat, sah-sah saja. Namun, jika pemimpin dan aparat negara ikut-ikutan selera pasar, sepertinya mereka merendahkan martabatnya sendiri.
Para pemimpin Indonesia pada masa silam adalah kreator budaya. Para raja di Jawa, misalnya, dijuluki sebagai narendro sudibyo , pencipta seni dan budaya luhur. Tentu saja budaya populer berselera rendahan juga ada sejak dulu, tetapi para pemimpin pada masa itu tidak ikut tercebur, apalagi menceburkan diri dan ikut arus. Para pemimpin adalah pencipta dan penjaga budaya bangsa yang luhur.
Pencitraan-pengalihan
Indonesia memang aneh, tetapi nyata. Menghadapi kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat, pemerintah dan aparat negara bukannya meningkatkan profesionalitas, tetapi justru menyuguhkan ”atraksi hiburan”.
Pada saat masyarakat sungguh menuntut perbaikan, perubahan, pembaruan, perombakan, dan pertobatan, pemerintah dan aparatur negara malah menghadirkan lelucon. Lucunya, masyarakat senang-senang saja.
Sudah bisa ditebak, atraksi itu justru dijadikan bahan pencitraan. Norman dengan dukungan segenap korps bisa jadi ”dikemas” untuk membangun citra bahwa polisi Indonesia itu kreatif, ramah, menghibur, tidak keras, tidak kasar, gaul, mengikuti perkembangan zaman, dan menguasai iptek. Maka, modus pencitraan ini jelas merupakan metode pengalihan perhatian.
Bangsa ini sudah penat, letih, dan menderita karena menghadapi berbagai persoalan yang makin parah. Para pemimpin dan aparat yang tak sanggup memberikan solusi, bahkan terkadang mencari untung sendiri di tengah keruhnya masalah, mencoba meninabobokan masyarakat dengan hiburan ringan. Masyarakat terlena dan dosa-dosa para pemimpin pun dilupakan.
Menyedihkan karena bangsa ini digiring menjadi bangsa yang cepat melupakan masalah. Entah semua itu direkayasa atau tidak, kebetulan saja atau diskenariokan, faktanya terjadi banyak pengalihan perhatian yang begitu sistematis.
Saat rencana pembangunan gedung baru DPR masih diperdebatkan dan mengundang reaksi keras, tiba-tiba Briptu Norman naik panggung meredakan tensi penonton (baca: rakyat) di negeri ini. Kebetulankah?
Bangsa ini akan hancur manakala rakyatnya bermental penonton berselera rendahan. Mereka adalah sasaran empuk para pemain sandiwara yang kian hari kian lihai menyentuh dan memainkan emosi tak cerdas penonton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar